Cobalah mengenal lebih jauh hakekat sebuah kemarahan dan kebencian yang timbul agar tujuan kita mampu mengatasi kedua sifat tersebut.
Sifat marah dan benci hanyalah suatu cara untuk tujuan perlindungan. Adakalanya Kita merasa terancam oleh pendapat orang lain, gaya hidup
ataupun tingkah laku mereka.
Hal-hal seperti itu bisa saja mengusik sifat keakuan, harga diri, tubuh, atau pikiran Kita, sehingga timbullah kemarahan dan rasa benci dalam
diri Kita. Kebencian adalah suatu kata yang terlalu keras. Saya tidak begitu suka menggunakannya, karena sebenarnya apa yang terjadi adalah
rasa sebal, bukan benar-benar benci. Kebencian lebih dalam maknanya. Sering kita merasa sebal pada orang lain apabila kita menghadapi
ancaman terhadap kenyamanan kita. Sehingga, jangan terlalu menyalahkan diri Kita bila Kita menjadi marah. Cukup dengan menyelidiki darimana
sumber kemarahan itu muncul dan apakah Kita berada di sisi yang benar atau sisi yang salah. Adakalanya Kita berhak menunjukkan sedikit sifat
kemarahan guna melindungi diri Kita.
Pertanyaannya bukanlah menghentikan sifat marah, tapi mengenali kapan Kita mesti menunjukkan sedikit kemarahan dan kapan tidak perlu
menunjukkannya. Kendalikan sifat tersebut dan gunakanlah secara bijaksana untuk kepentingan Kita, bukan menghapusnya sama sekali.
Saya mencoba menggunakan metaphor dari marah dan benci terhadap cerita pendek tentang seekor ular.
Ada seekor ular yang amat besar dan ganas. Ular itu tinggal di suatu lobang pohon, dan dia suka sekali memakan ayam dan menggigit orang
sehingga orang-orang di desa tersebut merasa takut pada ular itu. Suatu hari, seorang pertapa agung melewati tempat tersebut, kemudian
duduk di dekat pohon itu dan bermeditasi. Ular itu merasakan perubahan dalam dirinya dan kedamaian yang luar biasa.
Kemudian ular itu bertanya pada sang pertapa, bagaimana dapat meredam sifat ganasnya, sifat-sifat jahatnya, dan bagaimana agar bisa
menjadi seekor ular yang baik hati. Sang pertapa mengajarkannya lima ayat :
1. jangan menyakiti orang,
2. harus makan vegetarian,
3. jangan berbohong,
4. jangan melakukan ini dan itu, jangan berjudi....., yah bagaimanapun ular itu tidak tahu sama sekali tentang judi.
Jadi, hal yang paling penting untuk diketahuinya adalah jangan menyakiti orang lain. Ular itu berkata, "Mulai hari ini, aku akan berlatih meditasi,
makan vegetarian, aku tidak akan memakan ayam lagi, dan juga aku tidak akan menggigit orang lagi!"
Hingga suatu hari, sang pertapa harus pergi beberapa hari. Dia berpesan pada ular itu, untuk tetap tinggal di rumahnya, berlatih meditasi, dan
tunggu dia pulang.
Kebetulan, anak-anak desa lewat dan melihat ular tersebut sekarang duduk dengan amat tenang dalam meditasi dan semadhi, sehingga
mereka merasa tidak takut lagi padanya. Mereka ingin membalas dendam karena sebelumnya mereka amat takut padanya. Lalu, mereka
mengambil batu dan melemparkannya. Ular itu tidak melakukan apapun. Gurunya tidak mengatakan padanya bahwa dia tidak boleh marah,
tapi jangan menyakiti orang lain. Maksudnya jangan menunjukkan sifat kekejaman sama sekali, berarti tanpa kekerasan. Sehingga ular itu
tetap diam dan coba untuk bermeditasi lagi, namun anak-anak itu menendangnya, menarik ekornya, dan menggulungnya dalam bentuk
lingkaran. Ular itu menjadi pusing.
Kemudian mereka melemparkannya ke dahan pohon serta memukulnya, dan melakukan segala kekerasan kepadanya. Seluruh badannya biru
legam, hitam dan biru; dan ular itu berbaring dalam keadaan sekarat. Sang pertapa pulang dan bertanya, "Apa yang terjadi padamu ?" Ular
itu menjawab, "Ini gara-gara lima ayat tersebut – tanpa kekejaman." Sang pertapa amat kaget, "Apa, tanpa kekejaman?" Ular itu kemudian
menjelaskan lebih lanjut, "Guru mengajariku untuk tidak boleh kejam, jadi kemarin anak-anak ke sini, menarik ekorku, dan menyambit batu padaku.
Aku tidak bereaksi sama sekali, jadi mereka meneruskan permainannya. Sekarang aku sekarat!" Gurunya berkata, "Kamu benar-benar bodoh. Aku
tidak mengatakan bahwa kamu tidak boleh mendesis. Kamu boleh mendesis untuk menghalau orang."
Itulah bedanya antara memiliki Kebijaksanaan dengan tidak memiliki Kebijaksanaan. Bila kita tidak memiliki Kebijaksanaan, belum tercerahkan,
kita akan dikendalikan oleh emosi kita sendiri dan situasi serta keadaan. Bila kita memiliki Kebijaksanaan dan pencerahan, kita dapat menggunakan
emosi tersebut guna menyesuaikan dengan situasi dan kepentingan kita. Bukanlah berarti bahwa kita harus menghilangkan sama sekali emosi kita,
kita hanya perlu mengenali bagaimana menggunakan emosi tersebut. Ini seperti halnya sepucuk pistol atau senjata tajam lainnya yang berada
di tangan orang baik. Dia dapat menembak di tempat yang dikehendakinya, dia tidak akan menembak sembarangan dan membunuh orang seenaknya.
Nah, jika Kita ingin memiliki daya-pengendali dan Kebijaksanaan ini, Kita harus memiliki pencerahan. Dan cara untuk mencapai pencerahan
adalah melalui Guru yang berpengalaman atau sahabat baik yang dengan tulus membantu kita menjadi lebih bijak. Sama seperti halnya apabila
Kita ingin belajar bahasa asing. Kita harus menemui seorang guru bahasa asing yang berpengalaman, hanya itu yang perlu dilakukan. Gunakan
kebijakan dan emosi kita pada saat dan tempat yang tepat.
Have a positive day!
Salam,
Mohamad “Bear” Yunus
Sr. HRD Manager of Pharmaceutical Company
Tidak ada komentar:
Posting Komentar